James Nachwey |
Seorang photographer sebenarnya
dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam “menangkap” obyek photo-nya. Ia
dapat “menjangkau” obyek dari jarak yang cukup jauh, dengan menggunakan
lensa tele atau zoom, sehingga kewajaran obyek dapat terekam baik.
Namun ada pula photographer yang justru melakukan sebaliknya. Ia
mendekat pada obyek,
melakukan komunikasi, melakukan pengamatan detail
bahkan tak jarang berdialog langsung dengan object untuk dapat
“menangkap” apa yang menjadi permasalahan sebenarnya. Untuk cara
terakhir ini yang paling tepat digunakan adalah lensa pendek atau kadang
lensa lebar (wide), sebab dengan kedua pilihan lensa tersebut akan
memberi keluasan dan kelincahan gerak photographer. Selain itu, tentu
juga memudahkan mengatur arah penyinaran, sudut pengambilan dan lain
sebagainya.
James Nachtwey, seorang photo jurnalis
perang. Ia melaksanakan tugasnya di medan-medan “perang” dengan metode
pendekatan obyek, dengan menggunakan kamera berlensa pendek saja.
Artinya ia datangi obyect photo sedekat mungkin, mencoba menyapa dan
berinteraksi langsung, berdialog, berdiskusi dengan topik sederhana
maupun berat, dengan bahasa lisan maupun bahasa tanda. Ia selalu mencoba
dan tidak terburu-buru untuk membuat photo. James akan sabar dan terus
“mendekat” hingga secara intuisi ia bisa “diterima” obyeknya. Namun
sebelum hal tersebut bisa ia lakukan tentu ia sudah mempelajari dan
mengerti seluk beluk obyek berdasar pada pembacaan “peta” yang entah
bagaimana dan darimana ia dapat. Hal ini sangat penting dan menjadi
pokok untuk seorang professional. Sebuah “peta” akan menuntun banyak
hal. Sebuah “peta” akan membawa kita pada tujuan dengan tepat, effektif
dan effisien. Karenanya, modal awal seorang professional adalah
knowledge (pengetahuan) perihal konsep yang digagas dan penunjangnya.
Rwandan Genocide Victim1994 |
Coba kita lihat bagaimana James Nachtwey
kerja di medan “tempur”-nya di pinggiran rel-rel ibukota, Jakarta.
(lihat foto). James menyiapkan “alat tempurnya” begitu effektif.
Berpakaian sopan, dengan sebuah tas punggung yang tidak berat, sebab
tidak banyak peralatan foto yang ia bawa. Berpenampilan rapi, menarik,
bersikap gesit dan tegas.
Hal ini tampak ketika James ketika bermaksud
mengambil gambar dengan konsep “ketimpangan dan ketidak adilan” dalam
masyarakat kapitalis. Sebagai seorang professional James tentu sudah
mempelajari permasalahan konsepnya, bahkan akhirnya ia dapat menetukan
waktu dan tempat yang tepat untuk menjabarkan konsepnya. Membaca
perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Indonesia, membuat James
mengerti di sinilah (Indonesia, tepatnya Jakarta), konsep pemikirannya
kemungkinan dapat divisualisasikan. Lalu James ke Jakarta dan studi
lapangan. Ia melihat dan “menyentuh” obyeknya langsung dan mendapat
gambarnya.
Amati, James “membuntuti” obyek fotonya
(seorang pengemis cacat fisik) yang tengah melaksanakan kerjanya di
perempatan jalan ramai, di sebelah lampu merah. Ia sengaja memilih lensa
pendek untuk menangkap ketajaman obyek dan lingkungannya, ia
pertimbangkan cermat. Dengan lensa pendek memungkinkan James merekam
detail secara tajam untuk menunjang konsep. Pada photo pengemis di
perempatan lampu merah, (lihat photo), James mengambilnya dari belakang
mobil, sehingga wajah sang pengemis terlihat jelas. Sebab pada wajah
semua perjalanan kehidupan manusia dicatatkan. Lalu posisi obyek
(sedikit miring) seolah ingin menunjukkan keterbatasan fisiknya, dan
menaruh sebuah mobil mewah di depan obyeknya jelas ingin menunjukkan
perbedaan kelas kesejahteraan antar manusia. Dan yang paling menarik,
James keputusan “menjinak”-kan semua keruwetan warna di jalanan dengan
men-setting kameranya pakai film hitam-putih (BW).
Pada photo yang lain, photo keluarga pra
sejahtera yang hidup di pinggiran rel-rel kereta sepanjang ibukota,
James pasti telah melakukan pembacaan atas obyek-nya dengan sejumlah
“informasi” yang entah darimana ia dapatkan. Selanjutnya permasalahan
akan lebih mudah dideteksi dan dipelajari. Setelah itu ia tinggal
melakukan setting atas konsep-nya. Dari sinilah “kerja” lapangan
dimulai. Ia datangi lokasi obyek pada jam dan sudut yang “diperkirakan”
cocok dan mendukung visualisasinya. (lihat foto keluarga miskin hidup
di pinggiran rel kereta api). James segera menyapa mereka, mengajaknya
berdialog sekalipun awalnya kedua pihak sangat kaku, mungkin akibat
penggunaan bahasa yang saling tidak atau kurang dimengerti. Tapi
sebenarnya, disinilah “keindahan” itu mulai “dirajut”. Filsafat
mencatat, pada proses kerjalah keindahan yang sebenarnya hadir dan
dirasakan, dan pada hasil kerja yang tinggal adalah bayang-bayangnya
saja.
James Nachtwey - Sudan - A famine victim too weak to stand, entered an emergency shelter |
James Nachtwey persis mengerti hal
tersebut. Dengan nyaman didekatinya obyek fotonya, dinikmati prosesnya.
Mereka berdialog sekalipun lebih banyak menggunakan bahasa tanda, bahasa
universal! (?) Dengan bahasa tubuh James yang baik, maka obyek merasa
tak curiga dan akhirnya bisa “menerima”. Memang proses ini pada James
biasanya begitu cepat, tentu semua karena pengalaman dan jam terbangnya
yang sangat tinggi. Kondisi demikian begitu nyata hasilnya tatkala
dengan mudahnya James mengikuti sang obyek (seorang pengemis) cacat
fisik bersama anaknya yang hendak mandi di pinggiran sungai yang keruh
airnya. Dan si pengemis tidak keberatan!
Ia merasa James “bukan” orang asing
lagi, mungkin sudah dianggap sahabat (?) atau apalah, yang jelas sudah
tidak perlu dimasalahkan, alhasil “aksi” sang obyek tampil wajar-wajar
di depan lensa James, tidak kaku dan berhasil.
Mengamati “aksi”-nya di medan perang di
Palestina, pada pejuang intifadah, James berhasil menyelinap diantara
para pejuang Afganistan yang “main” bersenjatakan batu, ketapel dan
molotof. Sedangkan di sisi jauh, tentara Yahudi dengan senjata mutakhir
berpeluru tajam, tank-tank dan gas air mata terus membombardir lawannya
tanpa ampun.
Pada sudut yang telah dipelajari, dengan
keberanian luar biasa dan naluri kegesitan seorang photo jurnalis,
James mengabadikan “perang” yang tak berimbang dan telah menjadi saksi
atas ke-biadab-an tersebut. Frame demi frame mencatat setiap peristiwa
tanpa ada rekayasa lagi. Kepulan asap mesiu, gas air mata menjadi
ancaman yang tidak main-main. James menyadari hal itu, dengan tenang dan
terus mengikutinya hingga usai. (lihat photo di Afganistan). James
Nachtwey seolah ingin menyampaikan pikirannya kepada dunia perihal
“dihancurkannya” perikemanusiaan sebuah bangsa (palestina) oleh Israel.
Memang hal yang tak mudah, tak sederhana, namun sudah menjadi pilihannya
dan tepat.
Begitulah kehebatan seorang James
Nachtwey dalam berinteraksi dengan obyeknya, selain tentu kehebatannya
menggunakan segala peralatan dan pengetahuan photografi-nya.
Photo-photo jurnalis yang bersifat human
interest karya James Nachtwey, memang tidak banyak kita temui di ruang
public, karena itu penulis ingin menyampaikannya barang secuil untuk
memulai. Sebab pada James Nachtwey kejelian membaca permasalahan
kontemporer dan kejeniusan “menyelesaikan-nya” perlu kita tauladani dan
James telah membuktikan bahwa ia adalah salah satu photographer terbaik
di dunia saat ini.
Somalia's Child |