Wednesday, April 10, 2013

"Jancok" Dalam Sudut Pandang Historis




Salah satu ciri khas "Arek Suroboyo" adalah terkenal suka blak-blakan, suka menggunakan kata kotor atau misuh. Konon bila mengaku sebagai Arek Surabaya kalau tidak misuh belumlah betul-betul dikatakan arek Surabaya, apalagi bagi kamu laki-laki.
Bahasa masyarakat Surabaya cenderung ngoko atau kasar. Di wilayah Surabaya, sudah menjadi hal yang lazim apabila seseorang menggunakan bahasa yang kasar , seperti “Nang endi ae koen iku saiki?” atau “ yo'opo kabarmu saiki?” dalam menanyakan kabar atau menyapa teman lainnya.

Selain itu, ada juga kata yang selalu digunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Surabaya yaitu kata Jancok, Ancok, Jiancok, Mbokne Ancok yang menjadi kata khas milik kota Surabaya. Kata Jancok sendiri digunakan sebagai awalan ataupun akhiran dalam setiap kalimat pembicaraan, seperti “Nang endi koen cok?” dengan sesama teman. Untuk masyarakat luar Surabaya, tentu berpikir kata umpatan seperti itu tidak layak digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, kata Jancok di daerah Surabaya sendiri sudah lumrah dipergunakan dimana-mana, bahkan sebuah restoran di salah satu hotel berbintang di Surabaya yang memberi nama masakan mereka dengan "Nasi Goreng Jancok".
"Nasi Goreng Jancok" bisa di temukan di Resto sebuah Hotel Berbintang di Surabaya
Tidak ada keengganan ataupun sikap tersinggung apabila disapa dengan menggunakan sapaan kata tersebut. Hal itu dikarenakan, masyarakat Surabaya sudah terbiasa dan tidak berpikir bahwa perkataan itu dianggap sebagai sebuah kata meso/misuh (jawa). Kata Jancok sendiri menjadi lambang keakraban antar satu orang dengan yang lainnya. Terbukti dengan adanya Bonek yang merupakan suporter sejati PERSEBAYA yang selalu menggunakan kata Jancok sebagai kata tambahan wajib dalam percakapan sehari-hari antar teman.
 Meskipun di daerah Surabaya, kata tersebut sudah lumrah dipergunakan, tetapi tetap asing didengar dan dianggap sebagai perkataan yang kotor atau sangat kasar bagi pendatang baru di kota Surabaya. Keengganan dan sikap risih saat mendengar kata Jancok diucapkan sudah saya buktikan saat melihat reaksi teman-teman yang mayoritas berasal dari luar Surabaya mendengarkan hal tersebut. Meskipun diperhalus dengan kata seperti jancik, ataupun ancrit , kata tersebut tetap dipandang sebagai kata yang tidak pantas diucapkan.

Arti kata Jancok dalam kepastian sejarah masih simpang siur. Namun banyak pemerhati sejarah yang menyepakati bahwa kata umpatan atau pisuhan ini mulai kerap digunakan sejak jaman post kolonial. Salah satu pemerhati budaya Surabaya memaparkan satu dari sekian versi makna dan orisinalitas dari kata tersebut.

Menurut Edi Samson, tim 11 Cagar Budaya Surabaya, jancuk berasal dari bahasa Belanda,yakni yantye ook, yang berarti ‘kamu juga’.Kata tersebut seringkali diucapkan dan menjadi kata gaul oleh anak-anak Indo-Belanda sekitar tahun 1930an. 



Pergeseran pengucapan menjadi jancok itu dilakukan oleh arek surabaya. Hal ini terjadi karena di Surabaya terdapat perbedaan kelas yang sangat menonjol antara anak-anak Indo-Belanda dengan anak-anak pribumi. Kata-kata yang sering diucapkan oleh anak-anak Indo-Belanda, salah satunya adalah yantye ook tersebut sering kali dipelesetkan sebagai bahan olokan oleh anak-anak pribumi.

Kata yantye ook sendiri oleh anak-anak pribumi dipelesetkan menjadi yanty-ok, yang secara lisan terdengar [yantcook]. Dalam perkembangannya menjadi kata tersebut menjadi jancuk dan disini mulai muncul pengistilahan yang berbeda-beda dari kata tersebut. Kendati demikian, tidak ada sumber tertulis yang membenarkan bahwa pernyataan tersebut adalah sebagai asal-usul dari jancuk sendiri

(Joe)