Sunday, January 26, 2014

Mahaduka Dewi Kilisuci (Putri Kediri)


BANYAK sejarawan meyakini Sri Maharaja Erlangga hanya memiliki dua putra dan seorang putri. Semua tentu menyepakati bahwa Sri Maharaja Erlangga adalah maharaja dari kerajaan besar tanah Jawa. Sementara kebiasaan raja-raja tanah Jawa, besar maupun kecil, memiliki banyak istri. Tidak tertutup kemungkinan pula jika putra raja Bali ini memiliki keturunan lebih dari tiga. Kemungkinan ini semakin terkuak ketika nanti membaca prasasti Banjaran bertarikh 1052M yang mencatat nama Mapanji Alanjung Ahyes.


Sri Maharaja Erlangga memiliki istri permaisuri, putri sulung Maharaja Dharmawangsa Teguh, dan istri selir, putri sulung Pandita Terep. Sri Maharaja Erlangga sangat menyayangi keduanya. Apalagi kedua istrinya juga mampu hidup rukun. Sungguh nyata bahwa maharaja Medang ini memiliki keluarga bahagia, memiliki dua istri tetapi rukun-rukun.

Setelah pralaya di istana Watan, Erlangga meninggalkan sang permaisuri Dewi Laksmi di asrama Wanagiri dalam keadaan belum hamil. Sampai kemudian Erlangga tiba di kaki gunung Penanggungan lalu menikahi putri pandita Terep sebagai istri selir. Dari pernikahan ini lahirlah Mapanji Garasakan. Beberapa tahun kemudian, setelah membangun istana Watan Mas, Erlangga menjemput sang permaisuri, memboyong ke istana, dan kelak Dewi Laksmi melahirkan putri bernama Sri Sanggramawijaya dan putra bernama Sri Samarawijaya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Mapanji Garasakan putra tertua Erlangga.

Ketika seorang raja memiliki keturunan dari permaisuri, keturunan dari istri selir harus memendam keinginannya sebagai putra mahkota. Dari paparan di atas dapat dipastikan bahwa Sri Sanggramawijaya berhak menyandang gelar putri mahkota Medang, calon pengganti Erlangga. Sri Sanggramawijaya adalah cucu Dharmawangsa Teguh, keturunan murni wangsa Isana yang didirikan Mpu Sindok. Meski lebih tua dari Sri Sanggramawijaya, Mapanji Garasakan tidak berhak menyandang jabatan Mahamentri i Hino. Merupakan keputusan tepat ketika Erlangga memberikan jabatan itu pada Sri Sanggramawijaya.

Dalam tradisi pemerintahan kerajaan di tanah Jawa, sejak masa Medang i Bhumi Mataram sampai masa sebelum Singhasari, seorang Mahamentri i Hino berkedudukan sebagai putra mahkota yang kelak berhak menggantikan raja. Seperti Mpu Sindok yang sebelum menjadi raja di Jawatimur, menjabat sebagai Mahamentri i Hino pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Jabatan ini beda dengan jaman Singhasari hingga Majapahit, dimana Mahamentri i Hino sebatas gelar kehormatan bagi keluarga raja, tidak memiliki kekuasaan besar dalam pemerintahan dan tidak merupakan putra mahkota.

Pada masa Singhasari dan Majapahit, terdapat kelompok mentri bernama Mahamentri Katrini, terdiri dari Mahamentri i Halu, Mahamentri i Sirikan, dan Mahamentri i Hino. Mahamentri i Halu dapat naik hingga menjadi Mahamentri i Hino. Keberadaannya hampir selalu dicantumkan dalam piagam kerajaan atau prasasti. Bertugas terutama membantu mengurusi pajak Negara. Dan hampir semua yang menyandang jabatan Mahamentri Katrini adalah keturunan raja dari istri selir. Dalam perkara menentukan kebijakan Negara, kekuasaannya di bawah seorang mahapatih, meski dalam tata urutan kepemerintahan ditempatkan tepat di bawah raja. Sejak masa Singhasari sampai Majapahit, tiga Mahamentri Katrini itu sekali lagi sebatas gelar kebangsawanan, sebatas mengangkat derajat para putra raja dari istri selir, beda ketika masa Erlangga, dimana kelompok Mahamentri Katrini berpeluang menjadi pengganti raja.

Pada masa Erlangga tentu kelompok Mahamentri Katrini berjumlah tiga. Meski yang kerap ditulis dalam prasasti adalah Mahamentri i Hino -penyebutannya di bawah Sri Maharaja dan di atas Rakryan Kanuruhan- sangat mungkin terdapat pula Mahamentri i Halu dan Mahamentri i Sirikan. Ketika Sri Sanggramawijaya dinobatkan sebagai Mahamentri i Hino, kiranya Sri Samarawijaya menjabat sebagai Mahamentri i Sirikan, dan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri I Halu, sesuai benar urutan ini dalam adat tradisi kerajaan, dimana keluarga atau darah yang paling utama menempati posisi puncak.

Dalam prasasti Cane Erlangga bergelar Sri Maharaja Rake Halu. Itu gelar pertama yang digunakan Erlangga sebelum kelak menggunakan gelar Sri Maharaja Sri Lokeswara. Besar kemungkinan setelah tiba di Jawa dan dijodohkan dengan Dewi Laksmi, Erlangga menjadi Mahamentri I Halu. Di atasnya tentu masih ada dua tokoh lagi yang menjabat sebagai Mahamentri i Sirikan dan Mahamentri i Hino. Posisi Erlangga sebagai Mahamentri I Halu pada masa Dharmawangsa, sama artinya dengan menempatkannya sebagai calon putra mahkota, sebagaimana yang juga terjadi pada Mapanji Garasakan.

Mapanji Garasakan adalah putra selir. Mengapa Erlangga menempatkannya pada kelompok Mahamentri Katrini yang itu berarti memberi peluang bagi Mapanji Garasakan menduduki tahta kerajaan? Terasa di sini betapa besar pengaruh keluarga dari pihak Mapanji Garasakan yang merupakan keturunan pandita Siwa. Betapa keberadaannya terasa sangat penting di mata Erlangga. Hanya maharaja berjiwa besarlah yang suka menempatkan putra selirnya dalam barisan calon putra mahkota, yang memberi peluang besar menduduki tahta. Munculnya Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri i Halu adalah kebijakan Erlangga yang ingin mengangkat putra selirnya. Erlangga sekali lagi menyayangi kedua istrinya, dan menyayangi semua putranya. Penempatan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri i Halu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kakeknya.

Kakek Mapanji Garasakan adalah Pandita Terep, tokoh yang sangat dihormati Erlangga. Mertua Erlangga ini berjasa besar menjayakan kembali kerajaan Medang. Dimulai pada 1009M, saat memanggil para pandita Siwa di Jawatimur, mengumpulkannya di kaki gunung Penanggungan, bermufakat mengangkat Erlangga sebagai raja penerus wangsa Isana. Sejak saat itu para pemuka agama Siwa mendukung pemerintahan Erlangga yang menganut Wisnu. Ketika Erlangga tersingkir dari Watan Mas, pandita Terep berjasa pula mengantar Erlangga kembali ke singgasana. Seluruh keluarga Terep ikut berjuang bersama Erlangga. Mapanji Tumanggala, putra bungsu sang pandita, adalah salah seorang senapati Erlangga yang mengikuti setiap pertempuran penting dan berperan besar dalam penyerbuan atas Lodoyong pada penghujung 1032M. Karena itu sangat beralasan jika Erlangga menempatkan Mapanji Garasakan sebagai Rakryan Mahamentri i Halu, urutan ketiga dalam kelompok Mahamentri Katrini.

Keberadaan susunan urutan jabatan Mahamentri Katrini dalam pemerintahan Erlangga patut dipaparkan karena kelak menjadi pertimbangan Erlangga ketika membelah kerajaannya. Kelompok Mahamentri Katrini dalam kerajaan Erlangga benar-benar ada dan berpeluang naik tahta. Kelak beberapa raja Panjalu maupun Jenggala membawa gelar Rakai Halu, Rakai Sirikan, maupun Rake Hino dalam gelar abhisekanya.

Slamet Muljana dalam Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya menulis bahwa jabatan tertinggi sesudah Sri Maharaja Erlangga adalah Rakryan Mahamentri i Hino. Menurut Slamet Muljana yang ahli filologi ini, sejak 1021M, sebagaimana dinyatakan dalam Prasasti Cane, sampai 1035M seperti tertera dalam Prasasti Turun Hyang I, jabatan Rakryan Mahamentri i Hino dipegang Sri Sanggramawijaya Dharmaprasaddha Uttunggadewi, putri Erlangga dari perkawinannya dengan putri Raja Dharmawangsa. Setelah itu nama Sanggramawijaya Dharmaprasaddha Uttunggadewi tidak lagi tercantum dalam prasasti manapun. Slamet Muljana tidak mengetahui mengapa demikian, siapa yang menjadi penggantinya sebagai Rakryan mahamentri, juga tidak diketahui. Baru diketahui pada 1041M ketika prasasti Pucangan menampilkan Rakryan Mahamentri i Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. Namanya masih tercantum pada prasasti Pamwatan bertarikh 20 Nopember 1042M. Dan nama Samarawijaya sebagai Mahamentri i Hino tidak lagi tercantum pada prasasti Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042M, padahal cuma berselisih 4 hari.

Dalam prasasti Pamwatan, Erlangga masih menyebut dirinya sebagai Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Ananta Wikramattunggadewa dan menyebut para pembesar kerajaan. Sementara pada prasasti Gandhakuti Erlangga menyebut sebagai Paduka Mpungku Sang Pinaka catraning Bhuwana dan tidak menyebut para pembesar kerajaan. Atas dasar itu pula Slamet Muljana mengambil kesimpulan bahwa Erlangga turun tahta antara tanggal 20 dan 24 Nopember 1042M. Jika demikian, masih menurutnya, pembelahan kerajaan Erlangga berlangsung antara tanggal 20 dan 24 Nopember 1042M juga. Sejauh mana kebenaran simpulan Slamet Muljana terkait mundurnya Erlangga dan pembelahan kerajaannya, akan diuraikan di belakang. Sekarang mengecek dulu kesimpulan Slamet Muljana yang mengatakan bahwa Sri Sanggramawijaya hanya menjabat Mahamentri i Hino sampai tahun 1035M.

Prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M bait 2 menulis: “…maharaja rake hulu cri lokecwara dharmawanca Erlangganama prasodattunggadewa, tinadah rakryan mahamentri I hino cri sanggramawijaya peasodattunggadewi, umnisor I rakryan kanuruhan pu dharmmamantri narottamajanacura.”

Kiranya Slamet Muljana belum membaca prasasti Kamalagyan ketika menyimpulkan Sri Sanggramawijaya menjadi Mahamentri i Hino hanya sampai 1035M atau pada sampai dikeluarkannya prasasti Turun Hyang I oleh Erlangga. Besar kemungkinan Sri Sanggramawijaya menjabat sebagai Mahamentri i Hino sampai 1041M dan posisinya digantikan adiknya sebagaimana tercantum dalam prasasti Pucangan yang menampilkan Rakryan Mahamentri i Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. Sampai di sini dapat disimpulkan Sri Sanggramawijaya melepas jabatan Mahamentri i Hino antara sekitar  1037M sampai 1041M.

sumber