Friday, January 31, 2014

Orgasme Juga Hak Wanita [2]

Benarkah ada G-spot 'titik ajaib’ yang bisa menciptakan sensasi untuk mencapai kepuasan seksual? Ya, dokter berkebangsaan Jerman, Ernst Grafenberg, menemukan area ini dan diberi nama sesuai dengan namanya. G-spot adalah jaringan kecil pada dinding depan vagina, sekitar 5 cm dari mulut vagina.
G-spot terhubung langsung dengan otak. Jika menerima rangsangan, G-spot akan menerima aliran darah lebih banyak sehingga area ini membesar. Area yang bisa diraba ini hanya bereaksi terhadap tekanan, bukan sentuhan. Dengan demikian tidak setiap posisi hubungan seksual dapat merangsang G-spot.  Nyatanya, banyak wanita yang sulit mengetahui posisi G-spotnya. Sebagian wanita menyatakan bahwa jika mereka berada di posisi atas atau pada posisi  duduk saat melakukan hubungan seks, akan lebih mudah menerima rangsangan pada G-spot.

Tidak seperti orgasme pada pria, wanita mampu merasakan beberapa jenis orgasme, tergantung pada rangsangan yang diterima  --pada klitoris atau vagina. Wanita umumnya mengakui bahwa klitoris adalah area yang paling sensitif. Fungsi satu-satunya organ ini adalah untuk mencapai kepuasan seksual, dan sebagian besar wanita mengalami orgasme melalui rangsangan klitoris.

Sedangkan pada vagina, sepertiga bagian terluar adalah area yang sensitif. Umumnya wanita lebih sulit mencapai orgasme vaginal daripada klitoral. Tokoh psikologi Sigmund Freud melabelkan orgasme vaginal sebagai orgasme ‘matang’ dan orgasme klitoris sebagai orgasme ‘tidak matang’. Namun, tidak ada satu orgasme yang lebih baik dibanding orgasme yang lain. Keduanya merupakan cara yang berbeda untuk mendapatkan kepuasan seksual. Agar pasangan dapat membantu  Anda mencapai orgasme, komunikasikanlah orgasme mana yang lebih mudah Anda capai.

Namun pada umumnya wanita enggan membicarakan seks apalagi mengungkapkan hasrat seksualnya, sehingga timbul perasaan tertekan atau stres. Dan, kalau pun mereka berani mengemukakannya, hal ini malah dianggap tidak biasa atau 'aneh'. Di dalam budaya masyarakat kita pun ada yang masih menganggap  masalah seksual adalah tabu, dan wanita  sebaiknya menerima saja apa yang dikehendaki oleh  suaminya. 

Bukan obyek

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh para terapis seks, wanita perlu memperkuat sexual voice kewanitaannya, yaitu mengambil tanggung jawab untuk meminta dan menuntun kearah kepuasan, serta mengambil alih kendali pada saat bercinta, bergantian dengan suaminya.

Dalam hal seksual wanita, ada persamaan pada kebudayaan barat dan timur. Yaitu kepuasan wanita tidak hanya pada saat orgasme tapi juga pada perasaan bahwa dirinya tidak hanya dijadikan obyek seksual pria, melainkan menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Aktualisasi diri itulah yang menjadikannya wanita seutuhnya. Dan hal ini memang harus betul-betul diperjuangkan, yaitu wanita  mempunyai hak yang sama dengan pria.

Untuk mencapai kondisi mental yang baik secara seksual (sexually healthy wellbeing), sebaiknya nilai-nilai normatif dalam masyarakat yang sifatnya membuat wanita hanya sebagai obyek penderita, selayaknya tidak dijadikan patokan untukmenilai baik-buruknya seorang wanita. Karena wanita juga bebas berekspresi, berfantasi, dan menentukan kapan butuh atau tidak butuh seks.