International Telecommunication Union (ITU) atau otoritas telekomunikasi internasional memberi kebijakan konversi ke penyiaran digital kepada seluruh negara di dunia, agar paling lambat 17 Juni 2015. Berdasarkan kebijakan ini TV analog atau TV biasa yang kita tonton sehari-hari bakal tidak bisa digunakan sehingga mau tidak mau masyarakat harus berganti ke TV yang bisa menangkap siaran digital.
Berikut penjelasan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring seputar TV digital melalui akun twitternya, @tifsembiring:
- Keptsn ITU, 17 juni 2015 seluruh tv analog hrs migrasi ke digital. Jadi pabrik2 tv akan produksi tv digital. Gambar bersihn suara bening.
- Sesuai UU 32/2002, tv digital menjamin diversity of ownership, diversity of content dan ssj (sistem stasiun jaringan). Tdk ada monopoli.
- Trend teknologi tdk bisa dilawan, tv analog: tabung, transistor, IC terus ke digital, LCD dst. Spt telco: 2G, 3G, LTE, 4G dst
- Akan dipisah penyelenggara multiplexer (mux) dengan penyelenggara siaran. Tadinya 33 zona, sekarang 15 zona. 1 zona ada 6 mux, 1mux=12 ch
- Jadi dalam 1 zona akan tersedia 72 channel tv digital. Tidak ada lagi monopoli siaran. Peluang dibuka se-luas2nya
- Waktu migrasi dr tv analog ke digital diberikan sampai switch off 2018. Dlm ms transisi, konsumen yg punya tv analog perlu set top box
- Set top box, smcm decoder dari pemancar digital ke penerima analog. Anak2 smk bilang harganya bisa rp 85.000/unit. Di glodok rp 135.000
- Decoder wajib konten lokal, sedang dihitung peluang bantuan decoder kpd org2 miskin, perlu dana lk rp 300 milyar
- Negara2 eropa banyak yg sdh migrasi, jepang pakai dual system. Membangun negeri, Indonesia tdk boleh ketinggalan
- Tv digital menggunakan frekwensi sangat efisien. Dg cara ini tdk ada lagi yg menguasai 2 frekwensi di satu zona.
- Secara prinsip tdk ada lagi tv nasional, kecuali mrk berjaringan dg zona2 lain. Diprediksi industri PH dan CP tv akan kembali berkembang
Perbedaan yang paling mendasar antara sistem penyiaran televisi analog dan digital terletak pada penerimaan gambar lewat pemancar. Pada sistem analog, semakin jauh dari stasiun pemancar televisi, sinyal akan melemah dan penerimaan gambar menjadi buruk dan berbayang. Sedangkan pada sistem digital, siaran gambar yang jernih akan dapat dinikmati sampai pada titik dimana sinyal tidak dapat diterima lagi. Dapat dikatakan, siaran digital hanya mengenal dua kondisi status, terima (kode 1) atau tidak (kode 0).
Siaran televisi digital terestrial berisikan siaran stasiun-stasiun televisi yang beroperasi secara free-to-air, sehingga masyarakat tidak dipungut bayaran untuk menonton. Siaran televisi digital ini dapat diterima di televisi analog dengan memanfaatkan perangkat Digital Set Top Box (STB)/Digital Receiver/DVB-T Receiver yang mengubungkan antena dengan televisi analog. Dengan kata lain Digital STB adalah sebuah dekoder untuk mengubah sigyal digital menjadi gambar dan suara dan menampilkannya pada pesawat televisi analog.
Siaran televisi digital sendiri memiliki beberapa standar yang berbeda di berbagai negara. Setidaknya terdapat tiga standar utama yaitu sistem DVB di Eropa, ATSC di Amerika Serikat, dan sistem Jepang menggunakan ISDB. Hal ini merupakan kelanjutan dari tiga standar TV analog, yaitu PAL (Eropa), NTSC (Amerika) dan SECAM (Jepang) . Standar DVB Eropa adalah standar yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Sementara standar siaran untuk televisi digital terestrial sendiri seringkali disebut dengan istilah DVB-T (Digital Video Broadcasting-Terrestrial).
KEUNGGULAN
Kualitas gambar dan suara
Siaran televisi digital terestrial menyajikan gambar dan suara yang jauh lebih stabil dan resolusi
lebih tajam ketimbang analog. Hal ini dimungkinkan oleh penggunaan
sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) yang mampu
mengatasi efek lintas jamak (multipath). Pada sistem analog, efek
lintasan jamak menimbulkan echo atau gaung yang berakibat munculnya gambar ganda (seakan ada bayangan).
Penyiaran televisi digital menawarkan kualitas gambar yang sama dengan kualitas DVD,
bahkan stasiun-stasiun televisi dapat memancarkan programnya dalam
format 16:9 (layar lebar) dengan standar Standard Definition (SD) maupun
High Definition (HD). Kualitas suara pun mampu mencapai kualitas CD Stereo, bahkan stasiun televisi dapat memancarkan suara dengan Surround Sound (Dolby DigitalTM).
Tahan perubahan lingkungan
Siaran televisi digital terestrial memiliki ketahanan terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi karena pergerakan pesawat penerima (untuk penerimaan
mobile TV), misalnya di kendaraan yang bergerak, sehingga tidak terjadi
gambar bergoyang atau berubah-ubah kualitasnya seperti pada TV analog
saat ini.
Efisiensi spektrum/kanal
Teknologi siaran televisi digital lebih efisien dalam pemanfaatan spektrum dibanding siaran televisi analog. Secara teknis, pita spektrum frekuensi radio
yang digunakan untuk siaran televisi analog dapat digunakan untuk
penyiaran televisi digital sehingga tidak perlu ada perubahan pita
alokasi baik VHF maupun UHF. Sedangkan lebar pita frekuensi yang
digunakan untuk analog dan digital berbanding 1 : 6, artinya bila pada teknologi analog memerlukan pita selebar 8 MHz untuk satu kanal transmisi, maka pada teknologi digital untuk lebar pita frekuensi yang sama dengan teknik multiplex dapat digunakan untuk memancarkan sebanyak 6 hingga 8 kanal transmisi sekaligus dengan program yang berbeda tentunya.
Dalam bahasa yang sederhana, ini berarti dalam satu frekuensi dapat digunakan untuk enam siaran yang berbeda. Ini jauh lebih efisien dibanding dengan siaran analog dimana satu frekuensi hanya untuk satu siaran saja. Dengan keunggulan ini, keterbatasan jumlah kanal dalam spektrum frekuensi siaran yang menjadi penghambat perkembangan industri pertelevisian di era analog dapat diatasi dan memungkinkan munculnya stasiun-stasiun televisi baru yang lebih banyak dengan program yang lebih bervariasi.
Standar Siaran
Terdapat tiga standar utama yang digunakan di dunia internasional mengenai siaran televisi digital yaitu DVB di Eropa, ATSC di Amerika Serikat, dan sistem Jepang menggunakan ISDB. Perbedaan standar yang digunakan oleh masing-masing negara ini lebih disebabkan oleh masalah preferensi teknologi, kemudahan adaptasi, bahkan hingga masalah nasionalisme. Meskipun demikian, standar-standar ini sedang dalam proses penyatuan format sehingga akan lebih mudah dan murah proses adopsinya ke seluruh dunia.
Penentuan standar ini menjadi penting karena apabila salah menentukan pilihan bisa jadi teknologi yang diadopsi ternyata tidak cocok digunakan di dalam negeri dan mengakibatkan kerugian terhadap investasi publik. Hal ini pernah terjadi di Indonesia ketika pemilihan teknologi Betamax untuk siaran analog. Sebagai catatan, pada saat Indonesia memilih teknologi Betamax ternyata negara lain menggunakan teknologi VHS. Teknologi Betamax lambat laun jauh tertinggal dan akhirnya tidak bisa digunakan. Ini menyebabkan masyarakat yang telah membeli teknologi Betamax mengalami kerugian material karena teknologi tersebut tidak bisa digunakan. Maka, perlu dipilih standar yang benar-benar layak agar rancangan yang akan dijalankan dapat digunakan sebagai senjata pamungkas untuk mengatasi masalah yang selama ini ada dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Untuk keperluan penetapan standar televisi digital terestrial ini, pemerintah Indonesia membentuk Tim Nasional Migrasi Sistem Penyiaran dari Analog ke Digital yang bertugas melakukan kajian dan uji coba terhadap beberapa standar penyiaran televisi digital terestrial yang ada . Dari hasil kajian tim tersebut, diputuskan bahwa di Indonesia digunakan standar DVB-T (Digital Video Broadcasting–Terrestrial)untuk televisi tidak bergerak.
Efisiensi kanal dan pertumbuhan industri pertelevisian
Difisiensi kanal
pada siaran digital yang berbanding 1:6 dengan analog memungkinkan
pertumbuhan siaran-siaran televisi baru yang selama ini terkendala
keterbatasan frekuensi yang bisa digunakan. Sistem siaran digital memungkinkan setiap spektrum frekuensi radio
dapat digunakan utuk menyiarkan enam kanal transmisi/program siaran.
Jadi, jika sebelumnya satu spektrum frekuensi siaran hanya dipakai oleh
satu stasiun televisi maka dengan siaran digital spektrum tersebut dapat
digunakan oleh enam stasiun televisi secara bersamaan dengan program yang bervariasi tentunya.
Diprediksi tren yang akan berkembang nanti adalah satu penyelenggara
televisi digital akan meminta spektrum dalam jumlah yang cukup besar,
artinya tidak cukup hanya 1 (satu) kanal pembawa melainkan lebih. Ini
dikarenakan dalam prakteknya nanti penyelenggara, yang berbentuk konsorsium yang terdiri dari enam stasiun televisi seperti KTDI, hanya akan berfungsi sebagai operator penyelenggara jaringan
yang mentransfer program dari stasiun-stasiun televisi lain yang ada di
dunia menjadi satu paket layanan sebagaimana penyelenggaraan televisi kabel
berlangganan yang ada saat ini. Walaupun demikian untuk membuka
kesempatan bagi pendatang baru di dunia TV siaran digital ini, dapat
ditempuh pola Kerja Sama Operasi
antar penyelenggara TV yang telah mapam dengan calon penyelenggara TV
digital baru. Sehingga di kemudian hari penyelenggara TV digital dapat
dibagi menjadi "network provider" dan "program/content provider". (Joe)