Ribuan orang berada dalam pelarian. Bencana alam memaksa mereka meninggalkan kampung halaman, kadang untuk selamanya. Tidak jelas, sampai kapan dan bagaimana negara tetangga yang menjadi tujuan pengungsi harus bersikap.
Kekeringan, banjir, badai. Semakin banyak warga yang melarikan diri dari dampak perubahan iklim. Di kamp pengungsi Kenya diperkirakan ada sekitar 200.000 pengungsi iklim asal Somalia. Tidak hanya perang yang memaksa mereka pergi melewati perbatasan, tapi juga kekeringan dan kelaparan. Banyak keluarga yang kini menetap di kamp pengungsi, sebelumnya hidup secara nomaden. Namun, hewan yang menjamin pangan bagi mereka juga mati kelaparan. Tidak ada perspektif yang lebih baik, karena dunia internasional hingga kini tidak berhasil mengeluarkan konsep bagi para pengungsi iklim.
Negara barat turut menanggung tanggung jawab moral atas derita ini. Pakar urusan hukum negara Walter Kälin dari Swiss yakin akan hal itu. Bagaimana pun juga negara-negara Eropa lah yang beperan dalam perubahan iklim lewat emisi CO2-nya. Prognosa pesimis badan urusan pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan, tahun 2050 sekitar 150 juta orang akan menjadi pengungsi sebagai dampak dari perubahan iklim global.
Tidak Diakui Sebagai Pengungsi
Akhir Januari Kälin menjadi tamu di konferensi internasional pengungsi iklim di Berlin. Tujuan pertemuan tersebut adalah tukar informasi antar negara yang terkena dampaknya dan menetapkan peraturan penanganan pengungsi iklim. Walter Kälin menganggapnya sebagai hal yang penting. "Banyak negara yang menentang kesepakatan resmi masalah pengungsi." Khususnya, negara yang menjadi tujuan pengungsi khawatir harus menerima lebih banyak pengungsi lagi.
Saat ini, pengungsi iklim tidak berdaya. Sementara pengungsi politik memiliki mekanisme perlindungan resmi, pengungsi karena bencana lingkungan dan iklim hanya memiliki instrumen terbatas. Bagi korban ini hal yang fatal. Tidak jelas apakah negara tetangga wajib menerima pengungsi, dan dukungan apa yang menjadi hak para pengungsi.